KETIKA HAMBA_MU JATUH CINTA
Aku bukanlah seorang wanita yang pandai mengartikan teka-teki_Mu. Tapi bila memang ini benar maka biarkanlah aku menjaganya.
Kulangkahkan
kaki ini menuju dirinya. Kutahan kan perasaan tak tentu ini dalam aral
melintang di depanku. Kumantapkan hati ini dalam keluh kesah tuk berucap
“Minal aidzin walfaizin, Mas”. Kataku lembut tak memandangnya. Mukaku
memerah tak kala ada kecenderungan dalam diriku tuk menghindarinya.
Semua pepohonan masih beku tanpa reaksi memandangi tingkahku yang tak
mereka mengeri. Sesaat aku
terdiam kagum melihat jarak telapak tanganku yang hanya satu jengkal
dengan tangannya. Haram baginya bersalaman dengan seorang wanita.
Mungkin, Begitu pemahamannya. Aku maklumi semua itu.
“De
Uswah sekarang sekolah dimana?” ucapannya lirih agak malu denganku.
“Anu, apa itu SMA 7 Mas Zhain.” Jawabku terpatah-patah padanya. Dalam
ketidaktentuan perasaan ini aku memilih pergi meninggalkannya dengan
menutupi semua bahasa kalbuku. “Mas, Uswah buat minum dulu di belakang.
Permisi !” kataku asal saja. “De’Uswah nggak usah repot-repot Mas juga
mau pamit dulu. Wassalam….” Katanya berlalu meninggalkanku.
Hidupku
serasa berwarna-warni mengenalnya tak dapat kupungkiri bahwa semua itu
salah. Mengenalnya waktu itu adalah anugrah terindah dalam hidupku.
“Bukankah aku tidak salah mengenalnya?” ucapku polos pada-Mu.
***
Suara
takbir tidak terdengar lagi seperti gemuruh suara takbir yang begitu
merdu membuatku luluh tadi malam. Tapi kau pasti mendengar itu,
Subhanallah ! Begitu merdunya amat lembut mengundang. Membuat semua
orang tersanjung suara Muadzin itu, terlebih aku. “Gerangan suara siapa
toh bu itu?” Tanyaku menaruh penasaran .”Lah, ibu ya ndak tau,”
jawabnya. Terundang aku dihampirinya. Aku melangkah ringan menuju surau
kecil di kampungku. Perlahan langkahku tertahan mengenali suara merdu
itu. Aku semakin terpana.
Kuletakkan
mukena dan sajadahku dibalik pembatas tirai putih. Saat aku bergegas
melangkah berwudhu, Muadzin itu tepat dibelakangku tersenyum. “Udah lama
De….”katanya mengagetkanku. ”Belum,, Suara Mas Zhain merdu sekali,”
kataku polos. Lagi-lagi dia hanya tersenyum memamerkan lesung pipitnya
merespon pujianku. Tingkahku tak karuan saat itu. Aku berpaling menuju
dalam surau kutenangkan fikiranku menunggu iqomah. Kumohon pada-Nya agar
haluan hatiku labil saat melihatnya. Tak lupa beribu-ribu doa
kupanjatkan.
***
Libur
lebaran telah berlalu, hiruk pikuk arus balik mudik mulai memenuhi
jalur-jalur jalan raya bagaikan ribuan pasukan semut menyebar mencari
butiran gula. Dan dalam suasana pagi nun sejuk mentaripun masih
malu-malu menyapa di ufuk timur sana. Ada rona bahagia, malu dan ah tak
dapat digambarkan. Serangkaian bunga edelweiss menyambutnya mewakiliku.
Kutundukan kepalaku. “Ada perlu apa Mas Zhain tumben pagi benar kemari?”
ucapku kaku. “Oh, ini orang tua Mas ngadain syukuran dirumah. Kalau
berkenan De Uswah dan keluarga diharapkan hadir,”jawabnya. “Oh, pasti.
Pasti kami sekeluarga hadir, “kataku yakin.
Mas
Zhain adalah anak tunggal guru ngaji kami di kampung Waringan.
Keluarganya begitu ramah,sopan dan begitu menjunjung tinggi agama dan
akhlaknya. Makanya tak heran bila orang-orang di kampung waringin begitu
menghormatinya. Mas Zhain tumbuh menjadi pria yang begitu
shaleh,kepribadian dan bahkan menjadi idaman wanita di kampung waringin.
Setamatnya dari SMP dulu dia terpanggil sendiri untuk mendalami ilmu
agamanya disalah satu pondok di Jawa Timur. Baginya menuntut ilmu boleh
dimana saja yang penting dengan tujuan mencari ridha Allah SWT , begitu
ungkapnya. Sekarang beliau tengah kuliah di salah satu Universitas
Negeri jurusan Teknik Kimia di Jakarta.
“Bu,
Uswah cocok ndak pake baju ini?” tanyaku sambil berlenggang di depan
kaca. “Apa ndak terlalu berlebihan toh, ndok?’ jawabnya mengecilkan
hatiku. “Ndak lah Bu,” Jawabku cuek. Berkali-kali kubenarkan kerudung
merah jambuku di depan kaca. Kukaitkan ujungnya ke belakang dengan bross
putih kesayanganku.
Dalam
mendung langit esok , aku tersipu menghadap-Mu. Berilah hamba-Mu
ketenangan. Ku lama aku menunggu disitu. Namun tak ku dapat bayangan
dirinya. “Mungkin sibuk” batinku. Kulirik lagi di setiap sudut rumahnya.
Nihil tak membuah hasil. Satu jam lebih acara berlalu, suasana menjadi
lengan saat sang guru ngaji kami di kampung Waringin, yyang ku maksud
Ayah Mas Zhain member sambutan.
“
Kami sangat berbahagia dan turut berterima kasih atas kehadiran Bapak,
Ibu, saudara, saudari dan yang telah memberikan kesempatan bagi
putra akmi Mohamad Zhain untuk dapat menuntut ilmu di negeri orang.
Untuk itu kami mohon doa dan restu Bapak, Ibu, saudara, saudari
sekaliyan agarputra kami selalu dalam lindunganya-Nya dalam menuntut
ilmu nanti. Dan semoga Ridha-Nya selalu menyertainya. Amin.” begitu sambutanya.
Saat
itu mas Zhain datang menghampiri kami semua. Dua koper dan satu tas
kecil mengiringinya di belakang. Ku lihat dia bersujud di depan orang
tuanya, memohon doa restu. Dia berjalan teriring doa dan bersalaman
dengan semua tamu undanganya, kecuali kami kaum hawa yang bukan
muhrimnya. Dia hanya menyatukan kedua telapak tanganya lalu diacungkan
sopan kepada kami. Taksi blue bird telah menantinya di ujjung sana.
Bersamaan dengan itu hatiku tak rela melepasnya. Tapi apa dayaku? Apa
hak aku disitu. Aku hanyalah salah satu tamu undangan yang diharapkan
doanya. Hatiku berkecamuk. Sebenarnya apa landasan tingkahku selama ini.
Cinta? Aku pun tak tahu bagaimana pengertianya. Kupandangi langkahnya
dalam menuju jalan-Mu. Dan mutiara mata ini menetes tak kupedulikan. Tak
lebih 8m jarakku denganya. Dia melihatku. Benar-benar melihatku.
“Ya
rabbi, lindungilah ia. Jagalah dia. Tunjukanlah dia jalan yang
benar-benar lurus kepada Mu. Ridhailah tujuan yang baik itu. Dan bila
memang benar ini yang Engkau maksud dengan cinta. Maka jagalah perasaan
ini dan simpanlah cinta ini rapat-rapat dalam sanubari. Sungguh hanya
Engkaulah yang tahu. Dan biarkanlah dia merasakanya sendiri kelak, kalau
aku benar-benar ingin memillikinya,” doaku mengiringi kepergiannya
dulu. Dia hanya tersenyum mengangguk sembari tahu isi hatiku sambil
berlalu meninggalkan kami semua.
Thanks for your coming...
0 komentar:
Posting Komentar